Aku
terpukul atas kepergian omaku, walaupun aku bukanlah cucu kesayangannya karena
aku hanya cucu tirinya. Tapi itu tidak
membuat rasa sayangku berkurang, walaupun beliau suka memandangku sinis dan
menatapku dengan tatapan kebencian tak membuat surut rasa cintaku padanya.
Masih
terngiang kata – kata dokter Ahmad, dokter keluarga kami.
“Maaf,
pak Irsyad, kami sudah berusaha, tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain” ujar
dokter
Ahmad pada papaku.
Ahmad pada papaku.
“Seandainya
bu Reni dibawah lebih cepat, mungkin nyawanya masih bisa kami selamatkan”
tambah dokter Ahmad lagi. Jawaban yang
sontak membuatku menangis histeris.
***
Hampir
tiap hari aku menangis, di saat cucu – cucu kesayangan oma sudah bisa menjalani
hari – hari mereka penuh keceriaan, sepertinya aku belum bisa menerima
kenyataan ini.
Papaku
pun yang bertype tidak mau tahu sampai turun tangan menanyakan kondisiku dan
apa yang sebenarnya terjadi denganku.
“Sudahlah,
Fah, biarkan oma-mu tenang disana” nasehat papaku
“Iya
nih kak Ifah, aku aja cucu kesayangan oma sudah bisa menerima kenyataan” sambar
Della adikku
“Lagian
oma khan benci banget sama kak Ifah” tambah Della lagi, sambil menatapku tajam
dan penuh tanya. Ucapan sarkas Della ini
membuatku ingin membantahnya tapi papa segera menetralisir keadaan yang mulai
panas.
Oma
Reni memang sangat membenciku, beliau menuduhku gara – gara akulah sehingga
anaknya, yang juga mama tiriku meninggal.
Mama tiri yang kupanggil tante Eli itu meninggal saat aku mengantarnya
ke mall. Aku dan tante Eli memang sangat
dekat. Saat pulang dari mall tante Eli
terkena serangan jantung, aku masih membawanya ke rumah sakit dalam kondisi
sadar, tapi seperti oma, dokter pun tidak bisa menyelamatkan tante Eli. Alhasil, oma Reni menuduhku bahwa akulah
penyebab anak semata wayangnya itu meninggal.
Sedari
awal oma Reni memang tidak bisa menerimaku, dengan status sebagai anak kandung papaku
yang menikahi anakny, tante Eli. Aku
melalui hari – hariku dengan penuh tekanan dari oma, tapi hal itu tidak lantas
membuatku benci pada oma.
***
Sudah
hampir setahun, semenjak oma Reni meninggal tapi rasa kehilangan plus rasa
bersalah terus menghantuiku. Pagi
sebelum oma terjatuh di kamar mandi, aku mencuci pakaian yang segunung.
Karena
kecapaian, sisa – sisa sabun di lantai kamar mandi kubiarkan begitu saja, tokh
di rumah besar papa itu biasanya aku yang bangun paling pagi dan langsung
membersihkan kamar mandi, tapi sepertinya pagi yang dingin karena diguyur
hujan, membuatku malas dan terus bergelung di bawah selimut.
Kalau
bukan teriakan Della yang histeris karena melihat oma Reni terjatuh di kamar
mandi, mungkin aku masih tertidur.
Sampai
hari ini, aku masih menyesali seandainya saja aku segera membersihkan kamar
mandi pada saat itu, dan tidak menunda pekerjaan, tentunya oma Reni masih masih
hidup sampai sekarang.
“Maafkan
aku, oma” Cuma kata maaflah yang bisa kukirimkan untuk oma setiap hari lewat do’a
dan tangisku.
Jumlah
Kata : 458
6 komentar
Ngerti konsepnya, tapi saya kurang dapet sensasi FF-nya. Terlalu banyak yang kelihatannya boros kata (kebiasaan saya juga, sih). Kalau saya sendiri biasanya mengakali pemborosan keterangan di dialognya. Dialog antar karakter bisa membuat keterangannya tersampaikan meskipun si 'aku' tidak membatin panjang. CMIIW
Astaga, salah komentar. (akibat buka beberapa tab bersamaan)
sbenernya utk ff bisa lbh dipadatkan lg. tetep smangat! coba deh mb colek2 admin mondayflashfiction, tetep welcome buat yg mau blajar :D
Gpp mas fauzi, hehehe :)
Semangattt...sdh tak kirimin pesan padahal, tp gpplah namax jg org mw belajar, jd mesti sabar...
Jadi ikutan sedih.. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kalau datang duluan namanya pendaftaran.
*eh? :D
Maap becanda.
Salam kenal ya mbaa.. :D
Posting Komentar