Dalam
hidup berumah tangga semua orang punya impian dan cita-cita, begitu pun halnya
aku dan Kak Ias. Berumah tangga sudah menjelang 12 tahun saat ini,
pencapaian-pencapaian pribadi setidaknya sudah kami raih.
Pada
awal membangun mahligai rumah tangga, mungkin orang bilang “Mengapa aku mau
berjanji sehidup semati dengan Kak Ias, yang sudah resign dari pekerjaan.” Iya,
Kak Ias itu memang jobless setelah
kami menikah. Tapi, buatku tidak masalah, bukankah menikah itu bisa meluaskan
rezeki. Awalnya, tapi lama-lama jadi nggak enak juga, bukan faktor karena aku
cari duit dan beliau nggak. Bukan sama sekali. Kadang-kadang sebagai perempuan
yang bekerja aku merasa superior, masalahnya ada sama aku sih, jadi lebih egois
dan yaaah begitulah, hehehe 😄
Alhamdulillah,
4 tahun setelah menikah Kak Ias akhirnya keterima kerja di instansi tempatku
bekerja, otomatis sekantor sama aku dong. Namun selama 4 tahun pernikahan
tersebut kami belum dikaruniai momongan, pernah hamil pada tahun 2008 tapi
divonis BO atau Blighted Ovum, suatu
kondisi dimana janin di dalam rahim tidak berkembang. Pada dasarnya kehamilan
karena BO ini tidak bisa langsung dideteksi tanpa melakukan tindakan USG. Aku merasa hamil seperti Ibu hamil pada
umumnya, agak mual, hasil tes kehamilan dengan menggunakan tespek yang positif
dan payudara terasa nyeri.
Bagaimana gejala BO?
Menurut
Alodokter.com gejala BO ditandai dengan keluarnya flek atau perdarahan dari
vagina, volume darah yang lebih banyak dibandingkan menstruasi pada umumnya dan
kram pada daerah perut. Dan, aku kaget
dong karena keluar flek kecoklatan, saat itu usia kehamilan memasuki 5 bulan.
Langsung ke bidan tempatku konsultasi.
Dan,
bidan bilang “Masih okey, ada detak jantung janin.” Aku dan Kak Ias jadi tidak
begitu was-was, lega pokoknya. Kata temenku, coba ditespek lagi. Yaa, aku
tespek lagi, dan garisnya tinggal satu. Langsung worry, ke dokter lah kami. Tensiku naik sampai 140/100, kemungkinan
karena khawatir berlebihan.
Dokter
yang menangani kaget mendengar penjelasan kami tentang bidan yang mengatakan
bahwa masih ada Detak Jantung Janin (DJJ). Bidannya menggunakan alat yang
disebut doppler, untuk mendengar DJJ.
Dokter
menyamakan dengan hasil USG, bahwa kemungkinan yang didengarkan si bidan bukan
DJJ si janin, tapi pergerakan usus. Dari hasil USG juga terlihat bahwa janin
tidak berkembang sama sekali. Jangan tanyakan dimana hasil USG-nya, sudah aku
buang karena membuatku ingin nangis.
Dokter
menyatakan aku harus dikuret, mendengar itu aku sudah nggak tahu gimana dengan
perasaanku saat itu. Terus terang, saking sakitnya aku tak bisa
menggambarkannya lagi. Setelah dikuret aku menangis, karena takut. Takut nggak
punya anak. Tapi, Kak Ias menguatkanku dan bilang “Meskipun kita hanya berdua
saja menjalani kehidupan rumah tangga, tidak apa-apa. Kita akan selalu
bersama.” Itu terjemahan bebasnya yaa, soalnya Kak Ias suka pakai bahasa Bugis
kalau urusan beginian.
Bagaimana aku melanjutkan hidup?
Kemudian
hidup harus terus berlanjut, aku tidak boleh berdiam diri dalam kegelisahan dan
kegalauan. Aku tersadar bahwa hidup tidak hanya sebatas punya anak saja.
Mungkin masih banyak pencapaian lain yang bisa aku raih dengan ada atau
ketiadaan seorang anak.
Hari-hariku
terlewati, yaa samalah kayak emak-emak yang lain. Bangun pagi, berangkat kerja,
pulang kantor, nenangga alias ngobrol sama tetangga, ngopi-ngopi syantiek
meskipun ngopinya di rumah saja, nonton drakor. Yasudah gitu doang, sedatar itu
hidup gw, gaezzz, hahaha 😉.
Yaah,
dibanding teman-teman yang lain aku lebih punya banyak waktu lebih, karena
hanya ngurus rumah yang tidak luas-luas banget, ngurus kerjaan dan suami yang
sangat mandiri. Kak Ias itu nggak dimasakin, nggak dicuciin, pokoknya nggak
usah kerjain apa-apa buat dia, nggak masalah. Soalnya dia suami yang mandiri,
nggak nyusahin dan nggak nuntut juga aku harus begini dan begitu. Enak dong?
Yaa, nggak juga kali. Saking mandirinya, kalau hari libur aku kadang nggak
ngapa-ngapain. Salah satu pemicu kegemukanku juga ini sepertinya, hihihi.
Karena
belum punya momongan itu membuatku ingin menggapai banyak cita-citaku, termasuk
kuliah lagi untuk meraih gelar baru.
Hitung-hitung keluar dari zona nyaman deh, seperti kata orang bijak,
yang aku nggak tahu siapa namanya, “Jika anda ingin cepat berkembang, maka jangan
terlalu lama berada di zona nyaman.”
Akhirnya
aku betul-betul keluar dari zona nyamanku tentunya setelah
urus sana sini, Alhamdulillah dapet juga beasiswa untuk tugas belajar (tubel) dari
KKP, yeayy. Alasan kami (karena ini
kesepakatan bersama maka aku menyebutnya kami) siapa tahu dengan LDR kami bisa
dapet momongan *tetep yaa booo, karena beban kerjaan akan makin berkurang. Setidaknya itu harapan kami.
Aku
menempuh pendidikan selama 2 tahun lebih-lebih dikit, semuanya melalui
perjuangan yang berdarah-darah cencunya *lebay ihh bahasanya, hihihi. Apakah aku mendapatkan momongan, ohh nggak
juga. Gimana mau dapet orang tugasnya segambreng, penelitiannya ampuun. Nggak
seperti yang ku bayangkan lah gaezzz, hahaha. Waktu sebagian besar dihabiskan
di lab, aku nggak bisa mikir yang lain. Lha, gimana kalau namanya dapat
beasiswa gitu khan waktu sangat dibatasi. Jadi, harus kelar 2 tahun atau
ditoleransilah tambah setahun. Tapi, khan ku tak mungkin kuliah S2 sampai 3
tahun, pasti pemasukanku akan semakin berkurang, bwahaha.
Akhirnyaaaa
*sambil narik napas panjang, bulan November aku sidang ujian akhir dan semua
proses selesai pada Desember 2015. Gelar sudah direngkuh, saatnya pulang
kandang dong yaa, mengabdi kembali kepada Negara. Meskipun sebenarnya hatiku
sudah pengen banget mutasi ke Makassar, padahal aku baru selesai tubel. Aku pupuklah harapan lain, yang juga sudah
lama ku inginkan. MUTASI. Sampai aku buat tagar #MUTASIHARGAMATI sebagai salah satu
bentuk harapanku. Pokoknya targetku saat itu paling lama 3 tahun, aku sudah
mutasi ke Makassar.
Dan,
Alhamdulillah, nggak perlu nunggu 3 tahun dong aku untuk mutasi, karena
setelah 10 bulan selesai tubel, SK mutasiku akhirnya terbit. WOW. Kenapa WOW *dicapslock, karena mutasinya
langsung sama Kak Ias, hehehe. Sebuah kesyukuran yang tiada henti. Ketika
teman-teman kantorku yang sama berjuang juga ingin mutasi, justru aku seperti
ketiban rezeki nomplok. Tuhan memuluskan
keinginanku yang tidak terhitung itu. Semangat yaa kalian, man-teman. Tentunya terimakasih
aku haturkan buat yang telah banyak membantu untuk urusan mutasi ini. LOVE.
Bagaimana dengan masalah momongan?
Terus
terang kami sudah sampai pada titik kulminasi bawah, artinya ya sudahlah kalau
dikasih yaa dikasih, kalau nggak dikasih yaa mau gimana lagi. Pasrah? Ikhlas?
Yess, keduanya sepertinya. Aku pasrah saja sih kalau misalnya harus hidup
berdua saja dengan suami. Ikhlas yaa,
pastilah tokh sejauh ini Tuhan juga udah ngasih banyak. Jadi, kami berdua itu berfikiran kalau nggak
dikasih momongan, maka diganti dengan rezeki yang lain. Bijak banget yaa,
padahal mah sesungguhnya kami masih berharap dan selalu menitipkan sepenggal
doa setiap hari untuk dilangitkan.
Meskipun
kami tak pernah membahas lagi soal kehadiran momongan sih, aku bahkan sudah lupa,
sejak kapan kami menghentikan obrolan yang mengarah ke anak ini. Soalnya aku khan berhati kaca, gampang
nangis, hihihi.
Pernah
pada suatu masa, aku sudah betul-betul capek. Capek karena apa? Yaa, karena aku
menuntut diriku sendiri untuk punya anak. Pokoknya HARUS. Sampai aku sudah rela
banget kalau misalnya Kak Ias nikah lagi, tapi orangnya nggak mau juga
sih. Dalam hati aku bersyukur sebenarnya,
ini sih bukan ikhlas tapi test on the
water aja, wkakak 😅.
Tersebab
keharusan itu, makanya aku konsultasi ke Dokter, aku sempat ditangani oleh 2 Dokter. Dan tidak membuahkan hasil. Aku menstruasi
memang tidak teratur. Kata Dokter masalahnya adalah ketidak seimbangan hormone,
jadi tiap bulan itu aku minum obat dong ya. Lumayan lama sih aku mengkonsumsi
obatnya, kemudian terhenti. Kenapa? Karena aku orangnya bosenan dan pengenan.
Lha, gimana mau mendapatkan hasil maksimal kalau aku bosenan dan pengen ini dan
itu maunya cepat, padahal semua khan butuh proses. Jadilah aku males, hihihi.
Akhirnya
aku pindah pengobatan dong, yang herbal-herbal. Aku sempat ikut terapi holistic
yang diinfoin oleh iparku. Aku jabaninlah yaa, demi yang namanya buah
hati. Kemudian nggak berhasil juga.
Apa
aku berhenti di situ, ohh tydac-lah gaezzz.
Di beranda FB-ku itu sering seliweran orang yang melakukan terapi
Vitamin E dosis tinggi dan folavit. Malah dikasih tahu teman yang sudah 5 tahun
menikah baru dikaruniai anak kalau sebaiknya minum vitamin E dosis 400 IU dan
suaminya minum vitamin A merk kipi, cukup satu tablet dalam sehari. Berhasil?? Tidak juga.
Dan,
percayalah yang mengandalkan minum vitamin itu kebanyakan obatnya berakhir di
kotak obat saja. Aku lebih sering lupa,
hahaha. Yaa, aku nggak telaten emang.
Kadang khan aku sudah nemplok di kasur terus inget belum minum obat, aku hanya
bilang entar malam aja deh, dan akhirnya aku lupa deh hingga keesokan hari pun
tiba. LOL.
Aku
belum berhenti disitu, aku ikut pola makan Food
Combining atau lebih dikenal dengan FC,
yang lebih sering diplesetkan oleh Mas Edi, teman sekantorku dulu dengan Food Pauh Combining. Pauh
itu bahasa Minang yang jika diartikan ke
bahasa Indonesia adalah kedai atau warung makan. Yaa, tahu khan gimana enaknya masakan Minang,
ini salah satu kesyukuranku pernah hidup di ranah Minang. Makanannya UENAK-UENAK, gaezzz, bahkan
lidahku itu sudah selera Minang meskipun aku orang Bugis asliii. Pola makan ini aku terapkan di Bogor, dan
Alhamdulillah sukses. Tapi, kalau sudah
balik ke Pariaman jadi kacau, bukan lagi FC sesungguhnya tapi jadi FC yang
kepauh-pauhan 😝.
Dan,
kelean tahulah ujungnya kek mana pada saat aku balik ke Pariaman, yaa otomatis
stop FC-nya. Akhirnya aku ikut terapi
salah satu teman blogger,Mba Esti Sulistiyawan, beliau terapi buah anggur. Yoo, kapan lagi ada terapi seenak ini,
alhasil di kulkasku itu tidak selalu ada anggur. Ini aku makan bareng yaa dengan Kak Ias,
bukan aku sendiri tapi keduanya makan.
Yaa, kali aku makan sendirian padahal dese juga sering banget buka
kulkas. Tahu khan kelakuan manusia zaman nau, bolak balik buka kulkas, eh
tahunya isi kulkas nggak berubah juga.
Isinya kalau bukan sirup DHT, Marjan, yaa anggur itu, wkakak 😂.
Aku
sering juga dioleh-olehin serbuk kurma muda, ketika ada teman atau saudara yang
ke tanah suci untuk umroh biasanya aku dioleh-olehin itu.
Dan,
akhirnya ketika awal tahun 2017 kami mutasi, harapan tentang momongan ini kami
kubur dalam-dalam. Pokoknya semua kami serahkan pada Tuhan saja, dikasih
Alhamdulillah, nggak dikasih ya sudah sih, ponakan khan banyak yaa. Meskipun ku pernah kecewa sih soal keponakan
ini, nggak usah diceritain deh yaa, cukup keluarga besar aja yang tahu.
Aku
dan Kak Ias hanya banyak menyamankan diri saja, terutama aku. Pokoknya rileks. Sudah deh cuekin aja apa kata orang, nggak
usah peduli.
Orang-orang
yang lama diberi momongan kayak kami, mungkin sudah khatam gimana raasanya dibilangin MANDUL sama
tetangga kanan kiri atau keluarga jauh.
Sama aku juga demikian, bosen juga denger wejangan orang kalau selesai
berhubungan tidur miring kiri, kanan, kaki diangkat ke atas, dan bla-bla-bla. Asal tahu kalo ngomong soal posisi tidur,
semua sudah kami lakuinlah, jauh sebelum kamu orang ngasih saran.
Kalau
dibilang MANDUL apa jawabanku? Yaa, aku titip doa saja. Siapa tahu doa mereka itu lebih makbul
khan.
Kalau
dikasih saran A, B, dan C apa jawabanku? Aku bilang aja, okey sambil sign OK
tentunya.
Apakah
aku marah? Awalnya sih kesel, sering nangis sendiri. Bahkan biasanya nangisnya di kamar mandi,
jadi seolah-olah aku cuci muka atau mandi, hehehe. Tapi, lama kelamaan aku berusaha menerima
sih, memang kenyataannya khan aku belum punya anak. Semuanya aku balas dengan candaan juga,
minimal senyum 😊.
Dan,
secapek-capeknya hatiku berharap, aku tetap berdoa sambil terus memupuk harapan.
Bahkan aku menggunakan terapi doa lewat orang-orang, yaa mungkin aku harus
didoakan oleh 40 orang supaya keinginanku diijabah. Semua orang yang akan ke tanah suci, aku
titipin doa. Yaa, semua orang, siapapun itu yang aku kenal. Kenalnya offline atau online semua aku
titipin doa.
Terus endingnya gimana?
Akhirnya,
semua doa-doa itu diijabah juga, kurang lebih 8 bulan setelah mutasi aku hamil,
gaezzz. Alhamdulillah. Tidak ada yang menyangka termasuk orang tuaku, aku dan
Kak Ias dan seluruh keluarga besar. Soalnya kami semua sudah yaa posisinya,
sudahlah. Yang penting aku happy saja
menjalani hidup.
Tahu
nggak itu tahun ke berapa pernikahan kami? Tanggal 8 Bulan September 2017 itu
artinya usia pernikahan kami adalah 10 tahun lebih 9 bulan 8 hari. Mari bertepuk tangan, yayaya, aku memang Siti
Nurhaliza-nya Makassar *Emak2 minta ditimpuk duit.
Dua garis yang sangat diharapkan (www.empritkaji.com) |
Ada
satu hal teman-teman yang rutin kami lakukan, dan sepertinya ini adalah
kuncinya, selain doa yaa. Kami rutin bersedekah, tidak peduli berapa jumlahnya
dan juga tidak khawatir kalau mereka yang membutuhkan itu sebenarnya penipu
seperti yang orang sering katakan. Dan,
itu tidak pernah putus kami lakukan. Alhamdulillah.
Selain
dukungan keluarga yang begitu besar, apalagi Adek aku yang cowok selalu bilang
“Apa yang kamu khawatirkan, kamu masih muda. Banyak kok orang yang lebih tua
dari kamu tapi bisa punya anak juga. Sabar aja sih, nggak usah banyak drama.”
Ini sebenarnya bensin banget buat aku, dalam hatiku sudah tersugesti bahwa
insyaAllah suatu saat nanti aku akan punya anak. Lihat aja ntar.
Jangan
berharap kisahku semendayu-dayu Hanum Rais dalam novelnya, ohh tydac. Aku tidak mungkin membagikan kesedihanku pada
teman-teman, cukup aku dan Kak Ias saja yang tahu. Terus usaha Hanum Rais emang lebih keras sih
dari aku. Kalau aku mah receh aja sih
usahaku, mau ikut program bayi tabung aja mikir, duit darimana, hahaha 😛
Buat
teman-teman yang masih berstatus ‘Pejuang Momongan’ semangat yaa, ingatlah
bahwa “Tuhan memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.”
Ingat
juga nih quote Kak Ias “Anak itu rezeki.
Jika belum dikasih anak, nanti Tuhan ganti dengan rezeki-rezeki yang
lain.”
Salam,
-AE-
Tidak ada komentar
Posting Komentar