Tidak
terasa sudah 2 tahun lebih beliau meninggalkan kami semua, padahal masih
terekam diingatanku saat – saat beliau selalu membelai kepalaku tanda kasih
sayangnya. Beliau tidak pernah membedakan rasa sayangnya diantara semua
cucunya, bahkan terhadap anak – anaknya pun demikian. Buatku perempuan satu ini
bukan hanya sekedar nenek, tapi juga ibu buatku.
Namanya
Rugayya, karena beliau adalah orang bugis maka tetangga – tetangganya memanggilnya
puang Ruga. Anak – anak, keponakan dan cucunya memanggilnya Engga’. Keluarga dari
pihak ibu memang memanggil ibu – ibu mereka dengan nama pendeknya. Karena terbiasa
mendengar ibu, anak – anak dan keponakan beliau dengan panggilan Engga’, maka
jadilah kami semua cucunya juga memanggilnya dengan sebutan Engga’.
Dalam
hidup beliau memang tidak pernah merasakan kekayaan yang melimpah, hidupnya
sederhana. Tinggal di kampung dengan segala aktivitasnya, berkebun, beternak
ayam dan paling suka memasak. Engga’ku,
bukan type perempuan yang menadahkan tangan kepada suaminya. Beliau perempuan
mandiri yang kuat, walaupun tidak pernah mengecap bangku pendidikan, kalau
urusan cari duit beliau juga mampu. Beliau ikut membiayai anak – anaknya dengan
cara berjualan songkolo. Jajanan khas
orang Bugis – Makassar, yaitu beras ketan yang dikukus dan diberi serundeng
sebagai topping. Rasanya maknyuss, waktu
aku TK hampir setiap hari aku membawa bekal songkolo ini, aku tidak pernah
bosan. Walaupun teman – temanku membawa aneka macam kue yang mahal – mahal,
tapi aku selalu bahagia dan memamerkan kepada teman – temanku bahwa bekalku
adalah buatan Engga’ku.
Ketika
aku masih usia sekolah, hal pertama yang kulakukan pada saat pulang sekolah
adalah mencari keberadaan Engga’ku, bukan ibuku, hahaha. Bahkan rumah yang
kusamperin saat pulang sekolah adalah rumah Engga’ku, bukan rumah ibuku. Kebetulan
rumah kami berdekatan.
Engga’ku
adalah nenek satu – satunya yang selalu mengirimiku buah – buahan saat aku
kuliah dulu. Tidak pernah absen memberiku jajan. Bahkan beliau mau menjengukku
ketika masih kuliah, padahal aku kuliah di Kendari – Sulawesi Tenggara,
sementara beliau menetap di Bone – Sulawesi Selatan. Jarak tempuh yang jauh,
mengaharuskannya duduk di mobil selama 24 jam dan harus naik ferry, beliau lakoni
dengan ikhlas, hanya untuk bertemu aku cucunya.
Kami
sering ngobrol berdua, menceritakan banyak hal. Bercerita tentang cita –
citaku, keinginanku dan banyak hal yang kuinginkan dalam hidup. Mungkin satu hal yang terngiang diingatanku
ketika beliau bilang “Aty, sudah lama kamu menikah, tapi belum ada anakmu,
mungkin tidak kuliat anakmu baru saya meninggal”. Setiap kali beliau bilang
begitu, ada sebongkahan air mata yang ingin jatuh, tenggorokanku tercekat
saking sedihnya. Bukan, bukan persoalan anak. Tapi aku sedih ketika kata – kata
meninggal itu keluar. Aku hanya akan memberinya senyuman, ketika beliau
membicarakan kematian, karena sesungguhnya aku takut kehilangannya.
Engga' bersama adik bungsuku. |
Aku
tidak selalu berada di sampingnya, seperti adik dan sepupu – sepupuku. Mereka bisa
kapan saja menemui Engga’, tapi aku harus menunggu lebaran dulu baru bisa
ketemu, itupun tidak setiap tahun aku bisa menjenguk beliau. Aku yang bekerja
jauh dari tanah kelahiran, harus bisa menghemat untuk bisa mudik. Ketika aku
mudik, maka beliau akan tergopoh – gopoh datang ke Makassar dari Bone, hanya
untuk menemuiku. Lebaran tahun 2011 lalu, karena cutiku yang tak lama ditambah
aku malas kemana – mana jadilah aku hanya stay
di Makassar saja. Tak disangka dalam kondisi sakit – sakitan karena sudah tua,
beliau datang. Aku kena omel ibu, tante bahkan sepupuku karena kemalasanku. Aku
sungguh menyesal sebenarnya, kenapa bukan aku saja yang datang menemuinya. Beliau
datang dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya, masih teringat
dengan jelas ketika beliau berujar “Aty, saya datang karena mau melihatmu,
siapa tahu saya mati dan kamu tidak bisa pulang, nak”. Ucapannya itu pasti akan
kujawab “Jangan meninggal Engga’, kalau tidak adakah”, kebetulan aku itu paling suka tidur di perut beliau, dan
pasti dijawabnya “Kalau begitu, jangan paleng
suka tidur di perutku, karena orang – orang dulu bilang, kalau suka ditiduri perutnya orang ndak naliatkie itu mati, nak”, dan aku
spontan akan berpindah tidur di sampingnya.
Beliau diapain aja sama cucunya, tak pernah marah |
Pernah
suatu kali beliau bilang “Aty, berapa lama orang naik pesawat kalau ke tempatmu”,
dan aku menjelaskan kalau ke tempatku harus transit dulu di Jakarta, setelah
naik pesawat dari Makassar ke Jakarta selama 2 jam. Setelah itu baru naik
pesawat ke Padang selama 1,5 jam. Biasanya beliau akan terdiam dan bergumam “Jauh
dih, pasti mahal sewa pesawatnya”, aku
biasanya tidak menjawab, beliau malah menjawab sendiri “Kalau jauh tidak usahmie paleng saya pergi ke Padang,
simpan saja uangmu untuk kamu pulang ke Juppandang”.
Nyess, sebenarnya bukan faktor apa – apa, beliau sudah tua dan tidak sekuat
dulu. Beliau pernah ke Balikpapan
menemui anak dan cucunya, harus pakai kursi roda karena faktor usia. Dengan gaya
anak kecil, karena belum pernah naik pesawat beliau menceritakan padaku, kalau
naik pesawat itu enak, masih pengen diatas malah sudah nyampe.
Yang
membuat aku sedih tak ada habis – habisnya, beberapa hari sebelum beliau
meninggal, beliau menanyakanku. Kata mama’ku beliau selalu bilang, belum mau
pergi karena menunggu cucunya, sabarlah sebentar. Sehari sebelum beliau meninggal,
dengan kondisi sudah tidak bisa bicara lagi aku menelpon beliau. Mengikhlaskan beliau
pergi, tidak usah menungguku. Aku berjanji akan selalu mendo’akannya. Beliau hanya
meneteskan air mata saat mendengar suaraku, kubacakan syahadat dan
mengingatkannya supaya selalu mengingat Tuhan. Hanya itu yang bisa kulakukan,
maafkanlah cucumu ini, Engga’. Keesokan harinya, beliau meninggal. Dini hari
sebenarnya aku memimpikan beliau dan mohon pamit padaku, beliau juga bilang
supaya mengikhlaskannya. Sepanjang Shubuh itu aku sudah menangis tak henti –
henti. Takut beliau betul – betul akan pergi, dan siangnya deringan telpon dari
tanteku membuat seluruh tubuhku seakan luruh, aku menangis sejadinya dari
kantor sampai rumah. Tuhaaan, Engga’ku betul – betul sudah pergi.
Sosok
yang kuanggap bukan hanya seorang nenek, tapi juga seorang ibu. Engga’ku yang
sudah menemaniku dan begitu banyak waktu yang kuhabiskan bersama. Semoga kiriman
do’a – do’aku selalu menemanimu di sana, tenanglah di sana Engga’, semoga
engkau mendapatkan tempat yang paling terbaik di sisi-Nya, Aamiin.
Salam cinta,
-ibu Aty Elias-
1 komentar
nahan air mata karena sedang berada di kantor, terima kasih sudah share :)
Posting Komentar