Engga'ku, Bukan Hanya Sekedar Seorang Nenek....

  Tidak terasa sudah 2 tahun lebih beliau meninggalkan kami semua, padahal masih terekam diingatanku saat – saat beliau selalu membelai kepalaku tanda kasih sayangnya. Beliau tidak pernah membedakan rasa sayangnya diantara semua cucunya, bahkan terhadap anak – anaknya pun demikian. Buatku perempuan satu ini bukan hanya sekedar nenek, tapi juga ibu buatku.

    Namanya Rugayya, karena beliau adalah orang bugis maka tetangga – tetangganya memanggilnya puang Ruga. Anak – anak, keponakan dan cucunya memanggilnya Engga’. Keluarga dari pihak ibu memang memanggil ibu – ibu mereka dengan nama pendeknya. Karena terbiasa mendengar ibu, anak – anak dan keponakan beliau dengan panggilan Engga’, maka jadilah kami semua cucunya juga memanggilnya dengan sebutan Engga’.

  Dalam hidup beliau memang tidak pernah merasakan kekayaan yang melimpah, hidupnya sederhana. Tinggal di kampung dengan segala aktivitasnya, berkebun, beternak ayam dan paling suka memasak.  Engga’ku, bukan type perempuan yang menadahkan tangan kepada suaminya. Beliau perempuan mandiri yang kuat, walaupun tidak pernah mengecap bangku pendidikan, kalau urusan cari duit beliau juga mampu. Beliau ikut membiayai anak – anaknya dengan cara berjualan songkolo.  Jajanan khas orang Bugis – Makassar, yaitu beras ketan yang dikukus dan diberi serundeng sebagai topping.  Rasanya maknyuss, waktu aku TK hampir setiap hari aku membawa bekal songkolo ini, aku tidak pernah bosan. Walaupun teman – temanku membawa aneka macam kue yang mahal – mahal, tapi aku selalu bahagia dan memamerkan kepada teman – temanku bahwa bekalku adalah buatan Engga’ku.

  Ketika aku masih usia sekolah, hal pertama yang kulakukan pada saat pulang sekolah adalah mencari keberadaan Engga’ku, bukan ibuku, hahaha. Bahkan rumah yang kusamperin saat pulang sekolah adalah rumah Engga’ku, bukan rumah ibuku. Kebetulan rumah kami berdekatan.

   Engga’ku adalah nenek satu – satunya yang selalu mengirimiku buah – buahan saat aku kuliah dulu. Tidak pernah absen memberiku jajan. Bahkan beliau mau menjengukku ketika masih kuliah, padahal aku kuliah di Kendari – Sulawesi Tenggara, sementara beliau menetap di Bone – Sulawesi Selatan. Jarak tempuh yang jauh, mengaharuskannya duduk di mobil selama 24 jam dan harus naik ferry, beliau lakoni dengan ikhlas, hanya untuk bertemu aku cucunya.

   Kami sering ngobrol berdua, menceritakan banyak hal. Bercerita tentang cita – citaku, keinginanku dan banyak hal yang kuinginkan dalam hidup.  Mungkin satu hal yang terngiang diingatanku ketika beliau bilang “Aty, sudah lama kamu menikah, tapi belum ada anakmu, mungkin tidak kuliat anakmu baru saya meninggal”. Setiap kali beliau bilang begitu, ada sebongkahan air mata yang ingin jatuh, tenggorokanku tercekat saking sedihnya. Bukan, bukan persoalan anak. Tapi aku sedih ketika kata – kata meninggal itu keluar. Aku hanya akan memberinya senyuman, ketika beliau membicarakan kematian, karena sesungguhnya aku takut kehilangannya.

Engga' bersama adik bungsuku.
   Aku tidak selalu berada di sampingnya, seperti adik dan sepupu – sepupuku. Mereka bisa kapan saja menemui Engga’, tapi aku harus menunggu lebaran dulu baru bisa ketemu, itupun tidak setiap tahun aku bisa menjenguk beliau. Aku yang bekerja jauh dari tanah kelahiran, harus bisa menghemat untuk bisa mudik. Ketika aku mudik, maka beliau akan tergopoh – gopoh datang ke Makassar dari Bone, hanya untuk menemuiku. Lebaran tahun 2011 lalu, karena cutiku yang tak lama ditambah aku malas kemana – mana jadilah aku hanya stay di Makassar saja. Tak disangka dalam kondisi sakit – sakitan karena sudah tua, beliau datang. Aku kena omel ibu, tante bahkan sepupuku karena kemalasanku. Aku sungguh menyesal sebenarnya, kenapa bukan aku saja yang datang menemuinya. Beliau datang dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya, masih teringat dengan jelas ketika beliau berujar “Aty, saya datang karena mau melihatmu, siapa tahu saya mati dan kamu tidak bisa pulang, nak”. Ucapannya itu pasti akan kujawab “Jangan meninggal Engga’, kalau tidak adakah”, kebetulan aku itu paling suka tidur di perut beliau, dan pasti dijawabnya “Kalau begitu, jangan paleng suka tidur di perutku, karena orang – orang dulu bilang, kalau suka ditiduri perutnya orang ndak naliatkie itu mati, nak”, dan aku spontan akan berpindah tidur di sampingnya.

Beliau diapain aja sama cucunya,
 tak pernah marah
   Pernah suatu kali beliau bilang “Aty, berapa lama orang naik pesawat kalau ke tempatmu”, dan aku menjelaskan kalau ke tempatku harus transit dulu di Jakarta, setelah naik pesawat dari Makassar ke Jakarta selama 2 jam. Setelah itu baru naik pesawat ke Padang selama 1,5 jam. Biasanya beliau akan terdiam dan bergumam “Jauh dih, pasti mahal sewa pesawatnya”, aku biasanya tidak menjawab, beliau malah menjawab sendiri “Kalau jauh tidak usahmie paleng saya pergi ke Padang, simpan saja uangmu untuk kamu pulang ke Juppandang”. Nyess, sebenarnya bukan faktor apa – apa, beliau sudah tua dan tidak sekuat dulu.  Beliau pernah ke Balikpapan menemui anak dan cucunya, harus pakai kursi roda karena faktor usia. Dengan gaya anak kecil, karena belum pernah naik pesawat beliau menceritakan padaku, kalau naik pesawat itu enak, masih pengen diatas malah sudah nyampe.

   Yang membuat aku sedih tak ada habis – habisnya, beberapa hari sebelum beliau meninggal, beliau menanyakanku. Kata mama’ku beliau selalu bilang, belum mau pergi karena menunggu cucunya, sabarlah sebentar. Sehari sebelum beliau meninggal, dengan kondisi sudah tidak bisa bicara lagi aku menelpon beliau. Mengikhlaskan beliau pergi, tidak usah menungguku. Aku berjanji akan selalu mendo’akannya. Beliau hanya meneteskan air mata saat mendengar suaraku, kubacakan syahadat dan mengingatkannya supaya selalu mengingat Tuhan. Hanya itu yang bisa kulakukan, maafkanlah cucumu ini, Engga’. Keesokan harinya, beliau meninggal. Dini hari sebenarnya aku memimpikan beliau dan mohon pamit padaku, beliau juga bilang supaya mengikhlaskannya. Sepanjang Shubuh itu aku sudah menangis tak henti – henti. Takut beliau betul – betul akan pergi, dan siangnya deringan telpon dari tanteku membuat seluruh tubuhku seakan luruh, aku menangis sejadinya dari kantor sampai rumah. Tuhaaan, Engga’ku betul – betul sudah pergi.

   Sosok yang kuanggap bukan hanya seorang nenek, tapi juga seorang ibu. Engga’ku yang sudah menemaniku dan begitu banyak waktu yang kuhabiskan bersama. Semoga kiriman do’a – do’aku selalu menemanimu di sana, tenanglah di sana Engga’, semoga engkau mendapatkan tempat yang paling terbaik di sisi-Nya, Aamiin.


Salam cinta,

-ibu Aty Elias-



1 komentar

Chandra Iman mengatakan...

nahan air mata karena sedang berada di kantor, terima kasih sudah share :)