Komunitas Iman dan Peduli Anak SInggah (KIPAS)

Postingan ini disertakan dalam 8 minggu ngeblog bersama anging mammiri, minggu kedelapan dengan tema komunitas ideal.

     Menurut wikipedia, komunitas adalah sekelompok orang yang mendirikan suatu komunitas karena mempunyai ketertarikan dan minat ang sama, misalnya agama, pekerjaan, suku, ras maupun berdasarkan kelainan seksual.

     Sebagai manusia tentulah butuh bersosialisasi, dan biasanya dari hubungan sosialisasi tersebut timbullah keinginan dan tujuan yang sama terhadap sesuatu hal.  Misalnya mempunyai hobby bersepeda ontel, maka dibentuklah komunitas ontel.  Ataukah keinginan memajukan perbukuan sejarah, maka dibuatlah komunitas pencinta buku sejarah.  Menurut Crow dan Allan, komunitas terbagi menjadi 3 komponen, yaitu :


  1.  Berdasarkan lokasi atau tempat wilayah atau tempat sebuah komunitas dapat dilihat sebagai tempat  dimana sekumpulan orang mempunyai sesuatu yang sama secara geografis.
  2.  Berdasarkan minat
  3. Berdasarkan komuni – komuni dapat berarti ide dasar yang dapat mendukung komunitas itu sendiri.

     
Kipas itu selalu memberikan kesejukan, itulah filosofi awal dari Komunitas Iman dan Peduli Anak Singgah (sumber klik disini)

     Di tahun 2002, aku beserta teman – teman dari berbagai fakultas membuat sebuah komunitas.  Berawal sering berkumpul bersama – sama dan mempunyai pemahaman yang sama maka akhirnya terbentuklah Komunitas Peduli Anak Singgah (KIPAS).

     Kipas didirikan karena kami semua mempunyai keprihatinan yang sama tentang anak – anak jalanan.  Bayangkan usia mereka adalah usia sekolah tetapi harus mencari uang, macam – macam pekerjaan mereka, mulai dari menjadi kuli angkut, pengamen bahkan ada yang hanya menjadi pengemis.  Miris sekali.

     Alhamdulillah, aku bertemu dengan teman – teman yang sepertinya punya pemikiran yang sama tentang bagaimana anak – anak jalanan tersebut, selain mencari uang juga bisa tetap bersentuhan dengan yang namanya pendidikan.  Sebagian besar dari anak – anak tersebut sebenarnya sudah besrsekolah di pagi hari tapi ada sebagian yang memang tidak bersekolah karena harus menjadi tulang punggung keluarga.

     Dengan bermodalkan tekad yang kuat, aku dan kedelapan teman – temanku Nur, Mila, Ita, Ika, Ira, Sinar dan 2 orang mahasiswa yang aku lupa namanya *maaf, membentuk KIPAS. 

     Tapi ternyata tekad yang kuat saja tidak cukup untuk membangun sebuah komunitas, karena dibutuhkan dana.  Apalagi KIPAS yang kami bentuk ini tidak ada sponsor ataupun donatur yang tetap, beruntung salah satu teman kami yang bernama Ita, yang memiliki keuangan yang lebih kuat daripada kami mau menyumbang.

     Akhirnya kami mengumpulkan dana dari kegiatan bazar, menjual hasil kerajinan tangan dan menjual makanan kecil.  Perjuangan mengumpulkan dana ini dibutuhkan waktu, tenaga dan pikiran.  Di masa itu kegiatan bazaar begitu menjamur, sehingga kami harus betul – betul bersaing menjual kupon – kupon bazaar tersebut.  Kelebihan bazaar kami karena bersifat sosial, tidak seperti bazar lain yang diadakan oleh teman – teman.  Kamipun menawarkan apabila tidak mau membeli kupo bazaar kami, mereka bisa berinfaq.  Alhamdulillah, metode menjual bazaar plus berinfaq ini menjadi booming, dan banyak diikuti oleh teman – teman yang lain.

     Dan yang sangat menggembirakan adalah hasil kerajinan tangan yang kami buat laku keras, padahal hanya berasal dari bahan – bahan yang sangat sederhana.  Pada saat bazaar kami menjual kerajinan tangan dan makanan kecil berupa cemilan dijadikan ole – ole sepulang dari bazaar.

     Berangkat dari hasil mengumpulkan dana tersebut, akhirnya kami bisa menjalankan KIPAS.  Metode kami adalah dengan menjadi pengajar setiap sore.  Kenapa kami mengambil metode ini karena kami berharap anak – anak ini tidak melupakan tugasnya sebagai seorang pelajar.  Anak – anak jalanan yang sekolah bisa membawa pekerjaan rumahnya dan kami kerjakan bersama – sama.  Sedangkan yang memang tidak bersekolah kami ajarkan mengenal huruf dan angka serta membaca.  Masing – masing anak dibagi sesuai kelompok umur.

     Anak – anak jalanan ini mendapatkan pelajaran matematika, fisika, biologi, bahasa inggris, bahasa indonesia, juga belajar mengaji.  Dan semuanya terjadwal.  Akan tetapi jadwalnya bisa berubah – ubah tergantung permintaan anak – anak, atau tergantung pekerjaan rumah mereka. Fleksible.

     Saking seriusnya kami mengelolah KIPAS ini sampai kami urus dan daftarkan ke kesbang, tapi mendapatkan penolakan karena penamaan dalam membuat sebuah kelompok tidak bisa menggunakan kata komunitas.  Berarti kami harus  mencari nama lain.

     Okey, lupakan mencari nama lain tersebut, karena kami sudah sreg, dengan nama KIPAS.  Kegiatan tetap jalan.  Menjual makanan kecil dan kerajinan tangan pun masih jalan, bahkan cemilan seperti kuping gajah kami titipkan di toko – toko terdekat.  Hasilnya masih lumayan untuk menghidupi KIPAS.

     Seiring berjalannya waktu, di tengah himpitan dan tekanan untuk segera menyelesaikan pendidikan, maka aku sedikit demi sedikit harus sedikit melupakan KIPAS.  Aku harus bolak – balik mencari data ke kabupaten lain, dan harus melakukan penelitian di lab. Apalagi penelitian yang kulakukan memang tidak terlalu sulit, tapi harus selalu standby di lab karena kepiting bakau yang menjadi objek penelitianku, biasanya datang di saat waktu yang tidak disangka – sangka. Utamanya pada bulan gelap.  Aku meneliti telur kepiting bakau yang terserang penyakit.  Jadilah aku manusia penunggu lab, hiks.

     Supaya kegiatan KIPAS tidak stagnan, karena salah satu personilnya yang tidak jalan, maka dengan berat hati aku harus mengucapkan selamat tinggal dengan komunitasku itu.  Tapi aku masih menjual kupon bazaar kok kalau teman – temanku di KIPAS mengadakan acara bazaar.  Seingatku KIPAS tidak pernah berganti nama, sampai komunitas ini betul – betul berhenti diakibatkan oleh personilnya yang sibuk karena penelitian.  Keinginan mulia kami ini masih dilanjutkan oleh salah satu teman pendiri KIPAS Ita, walaupun sudah tidak dibawah payung KIPAS, tapi masih aktif di kegiatan sosial yang berhubungan dengan anak jalanan.

     Dari pengalaman tersebut, maka bisa dikatakan bahwa KIPAS sebenarnya nyaris  ideal, tapi personilnya belum bisa membangun komitmen, akibat dari kesibukan, apalagi melihat tujuan awalnya yang sangat mulia.  Menurutku komunitas yang ideal itu harus mencakup hal – hal sebagai berikut :
  1.     ..       Niat
  2.              Tujuan (visi dan misi)
  3.     .        Ketersediaan dana atau anggaran
  4.     .        Komitmen
  5.     .        Kerjasama
  6.     .        Penamaan
  7.     .        Sesuai dengan jaman.   

SSalam Cinta
+=================================


Postingan ini disertakan dalam # 8 minggu ngeblog bersama anging mammiri


4 komentar

Shaela Mayasari blog mengatakan...

Sukses dengan KIPAS nya Mbak. Komunitas yang benar-benar positif dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Keren!

Moti Peacemaker mengatakan...

nah..ini komunitas luar biasa...

berawal dari sebuah keprihatinan yang berusaha bergerak untuk menciptakan keperdulian dan tindakan nyata,,,luar biasa

Santi Dewi mengatakan...

Hebat mba, semoga makin banyak2 komunitas2 yg perduli pada sesama

Keke Naima mengatakan...

semoga komunitasnya semakin sukses :)