Pagi itu, Pak Khairud dengan wajah yang
mengeras, mata yang memerah dan hati yang panas, memporak – porandakan seisi
rumahnya yang berukuran 5 m x 4 m itu.
“Herman,
kamu sembunyiin dimana sepatu bapak” teriak pak Khairud pada anak tunggalnya
itu
“Kamu
memang anak tidak tahu diri” maki pak Khairud lagi sambil menatap Herman dengan
tatapan tajam, Herman cuman tertunduk melihat kemarahan bapaknya.
“Ayo,
dimana kamu simpan sepatu bapak” sambil membentak, pak Khairud mendorong tubuh
Herman yang masih berdiri mematung di depan bapaknya.
Herman,
masih tetap diam hanya mampu menatap bapaknya.
***
Sore...
“Herman,
Herman, Hermannnnn” teriak Akbar kencang, kawan bermain Herman.
“Man,
ini sepatu bapakmu” Akbar menepuk pundak Herman, kemudian menyerahkan sepatu
butut berwarna merah yang sudah sobek dimana – mana.
Herman
menerimanya dengan senyum lebar dan mata berbinar. Lewat matanya yang penuh senyum,
Herman seolah ingin mengucapkan terima kasih pada Akbar.
“Kemarin
bapakmu lupa mengambil sepatunya yang dijemur di depan rumahku” ujar Akbar dan
Herman hanya mengangguk tanda mengerti.
***
Malam...
Herman
menyerahkan sepatu butut berwarna merah itu, saat pak Khairud sedang asyik
menikmati rokoknya yang tinggal beberapa hisapan lagi.
“Nah,
khan memang kamu yang sembunyikan” maki pak Khairud dan meletakkan rokoknya di
asbak. Herman kembali hanya tertunduk tanpa bisa membela diri.
“Mana,
rokok bapak, kamu ambil lagi yah” teriak pak Khairud, kembali membentak Herman.
“Sudah
sana” usir pak Khairud sambil mengibaskan tangannya. Sebuah tanda bagi Herman bahwa dia harus
pergi dari hadapan bapaknya. Dengan
langkah gontai Herman meninggalkan pak Khairud.
“Dasar
gagu” teriak pak Khairud. Teriakan yang
takkan membuat Herman menoleh
sedikit pun karena Herman memang gagu.
Herman
memang bisu, tapi matanya bisa melihat, begitupun dengan hatinya bisa bicara.
Herman tahu kalau ibunya pergi bersama lelaki lain. Meninggalkannya bersama bapak tirinya yang
pikun. Ibunya pergi dengan alasan malu
mempunyai anak yang bisu dan suami yang pikun.
Herman
tahu walaupun bapaknya pikun dan pemarah, tapi sesungguhnya bapaknya sangat
menyayanginya.
“Maafkan
Herman, bapak, tidak bisa memberimu kebahagiaan” Herman menghapus air matanya
yang jatuh satu – satu.
“Herman,
kenapa sepatu bapak warna merahnya sudah buram begini” Pak Khairud melemparkan
sepatu butut itu tepat di wajah Herman.
Lemparan sepatu dari pak Khairud menyadarkan Herman.
“Besok
akan kumerahkan kembali sepatu, bapak” ucap Herman dengan tatapan sayang pada
bapaknya.
***
Esok...
Seorang
bapak dan anak tergeletak di sebuah dipan. Seorang bapak berusia kurang lebih
50 tahun menggenggam sepasang sepatu butut berwarna merah yang penuh darah,
dengan luka menganga tepat di jantungnya.
Dan seorang anak memeluk ayahnya dengan pisau dapur tertancap tepat di
ulu hatinya.
Jumlah Kata : 416
10 komentar
sukses buat FF nya yaaaaaaaaaaaaa
Keren pake banget!
makasih mba norma dan noichil, sukses buat kita semua yagh :D
Sadis! Tapi haru... ;-(
Bagus, ceritanya menarik. Sukses buat FF-nya :)
bang eksak....sadis yagh, awalnya g mw bikin akhir yg sadis gitu, tp tiba2 aj idex muncul, hehehe :-)
mba indah...makasih mba, tp msh perlu terus belajar :-)
kenapa harus main bunuh-bunuhan hanya untuk memerahkan sebuah sepatu, mbak? kenapaaaa? :(
Mungkin krn si Herman sdh teramat sakit hati yagh...kadang hidup mmg begitu...
bagus kak cerita FF nya...
kesabaran herman sudah habis, jadi bunuh diri deh ouuuhhh mengenaskan.
Makasih yagh dik, aku lg belajar2 nulis nih :)
Posting Komentar