Bugis – Makassar vs Pariaman : Antara Uang Panai dan Adat Bajapuik

     Mengapa aku mengangkat judul ini “ Bugis – Makassar vs Pariaman : Antara Uang Panai dan Adat Bajapuik” dalam 8 minggu ngeblog bersama anging mammiri , minggu kedua dengan tema local flavour atau rasa lokal karena aku ini sejatinya adalah orang Bugis (Bapak : Sinjai – Herlang – Gowa dan ibu : Bone) yang lahir dan besar di kota Makassar yang di jaman Orde Baru bernama Ujung Pandang dan mengalami perubahan nama di tahun 2000.



     Aku ini adalah seorang gadis berjiwa si bolang karena aku lahir dan besar memang di Makassar tapi pada saat SPP (Sekolah Setingkat SMU dibawah naungan Departemen Pertanian kala itu), aku hijrah ke Maros dan pada saat kuliah aku juga berpindah tempat ke Kendari dan pada saat bekerja mengabdi di SUPM Neg Pariaman, sebelumnya memang sempat kerja di Makassar selama 2 tahunan sebelum bekerja sebagai abdi negara.  Empat kota ini sebenarnya mempunyai peran yang penting buatku karena sangat berpengaruh terhadap kehidupanku, tapi aku hanya mengangkat adat budaya Makassar dan Pariaman karena kedua kota ini selain memberikan banyak arti juga mempunyai perbedaan yang sangat mendasar dalam hal adat istiadat.
     Pertama kali menginjakkan kaki di Pariaman, sepertinya semua orang yang lebih tua dariku kupanggil dengan sebutan “ Kakak “ tidak peduli laki – laki ataupun perempuan, kufikir untuk menghargai orang yang lebih tua, tapi ternyata di Pariaman panggilan kakak di khusukan kepada kakak perempuan saja dan jikalau kakak laki – laki maka di panggil abang, pantasan saja setiap orang yang kupanggil kakak dan kebetulan laki – laki tak mau menoleh, hehehe. Selain panggilan “ abang dan kakak “ juga ada panggilan “ uda dan uni “, panggilan uda untuk kakak laki – laki dan uni untuk panggilan kakak perempuan barangkali tidak jauh berbeda dengan panggilan mas dan mba bagi orang jawa, beda banget dengan orang makassar semua yang lebih tua dipanggil kakak ataupun di kalangan keluarga besar bisa dipanggil daeng (jangan sembarang memanggil orang dengan sebutan daeng, kalo tidak bisa terjadi tragedi JK marah pada saat dipanggil daeng oleh Ruhut Sitompul, hehehe).
     Ada satu adat istiadat yang sangat unik antara orang Bugis - Makassar dan Pariaman, yaitu dalam hal adat perkawinan atau pernikahan.  Dalam adat orang Bugis – Makassar ada yang disebut uang panai atau uang belanja yang biasanya puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah, apa standartnya sehingga seorang gadis Bugis - Makassar biasanya uang panai-nya tinggi bisa dilihat dari status sosialnya seperti latar belakang pendidikan, latar belakang keluarga bahkan jika sudah menyandang status hajjah maka akan lebih mahal, akhirnya kesannya anaknya dijual padahal bukan itu maksudnya, uang panai atau uang belanja memang murni digunakan untuk membiayai pesta pernikahan pihak perempuan.  Uang belanja berbeda dengan mahar atau dalam bahasa bugis disebut sompa.  Sompa ini bisa berupa uang dirham, kebun, sawah, ladang, emas atau apapun yang bisa menghasilkan, karena sompa ini murni akan menjadi milik pihak perempuan yang fungsinya sebagai pegangan kelak bagi si gadis, apabila bercerai pun sompa ini akan tetap menjadi milik pihak perempuan, termasuk jika sang suami meninggal maka akan tetap dimiliki oleh istri dan bisa diturunkan kepada anaknya, btw jadi teringat sompaku berupa cincin emas yang kujual dan kubelikan televisi, hehehehe, kembali ke masalah uang belanja sebaiknya dalam menentukan uang belanja ini pihak perempuan harus berlaku bijaksana yaitu dengan melihat kondisi ekonomi pihak laki – laki, banyak orang yang menggunakan trik karena tidak enak menolak pinangan atau memang tidak mau menikahkan anaknya dengan laki – laki tersebut maka uang panai atau uang belanjanya di pasang tinggi – tinggi, hal ini sudah tidak bijaksana.  Ada fenomena yang terjadi saat ini semakin tinggi uang panai-nya maka akan semakin tinggi pula status sosialnya, hmm uang bukan segalanya, tapi menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warrohmah menjadi tujuan akhir dari sebuah perkawinan.  Perlu diingat bahwa UANG PANAI ATAU UANG BELANJA BEDA DENGAN MAHAR.

Pakaian Adat Pernikahan Ala Bugis – Makassar (Sumber By. Ias dan Aty, 07 Januari 2007)

     Nah, sebenarnya adat uang Panai ala Makassar tersebut hampir sama dengan adat Bajapuik bagi orang Pariaman, jadi jika di Makassar atau di tempat – tempat lain yang meminang atau melamar adalah pihak laki – laki maka di ranah Minang yang meminang adalah pihak perempuan tetapi kalau bicara adat bajaupuik itu hanya dilakukan di Pariaman saja.
     Setiap laki – laki dewasa yang akan menikah di Pariaman biasanya di japuik atau di jemput, jemputan bagi laki – laki adalah berupa barang, biasanya berupa emas, honda (motor) ataupun mobil tergantung kesanggupan pihak perempuan.  Nah selain mesti mengeluarkan sejumlah barang untuk menjapuik pihak laki – laki, pihak perempuan juga mesti memberikan sejumlah uang kepada pihak laki – laki yang dikenal sebagai uang hilang.  Uang hilang inilah yang digunakan sebagai uang perhelatan bagi pihak laki – laki dan dijadikan sebagai modal awal dalam membentuk keluarga.  Uang hilang ini biasanya dipegang oleh seorang mamak (paman atau om dari pihak ibu, mengingat orang Minang menganut system Matrilineal).  Perlu diketahui biasanya setelah pihak laki – laki dijapuik maka pihak perempuan yang berkunjung ke pihak laki – laki (pesta di tempat laki – laki) biasanya pihak perempuan diberikan hadiah berupa emas dari pihak laki – laki, mengingat di Pariaman emasnya adalah emas 24 karat  dan hitungannya adalah 1 emas (1 emas = 2,5 gram) tentulah harganya juga semakin mahal.  Jadi jangan heran jika di laki – laki di Pariaman yang berprofesi sebagai dokter, polisi, guru atau PNS harga jemputannya akan sangat tinggi, sama seperti gadis2 Bugis – Makassar semakin tinggi status sosialnya maka akan semakin tinggi pula uang Panainya.

Pakaian Adat Pernikahan Ala Pariaman (Foto By. Harminto dan Desi, 2011)

     Konsep uang Panai dan Uang hilang pada dasarnya sama saja, karena sama – sama digunakan untuk membiayai perhelatan atau pesta, sementara sompa atau mahar sama dengan adat bajapuik karena sama – sama memberikan barang kepada salah satu pihak, bedanya jika di Makassar yang diberikan uang Panai dan sompa adalah pihak perempuan nah kalau di Pariaman yang di japuik dan diberikan uang hilang adalah pihak laki – laki.  Jadi ingat pertanyaan seorag bapak yang kutemui di pesawat “berarti suaminya orang Pariaman dong “ tembak si bapak dengan separuh rambutnya sudah beruban “ ohh tidak pak “ jawabku sambil tersenyum “ bisa – bisa aku rugi bandar pak “ jawabku dengan senyum manis dan disambut dengan wajah keheranan si bapak “ iya pak, kalau orang bugis itu aku yang dikasih duit, kalau orang Pariaman tentu aku yang harus menjemput pihak laki – lakinya, makanya kubilang rugi bandar “ jelasku dan disambut derai tawa oleh si bapak mungkin dalam fikirannya “dasar cewek matre, tidak mau rugi “ tapi terserahlah apa yang ada dalam fikiran si bapak yang jelas kalau pacarku yang kini sudah jadi mantan pacarku (baca : suami) tidak kupilih kasihan dia masalahnya tinggal aku satu – satunya orang termanis yang pernah mengisi hatinya, gubraakkk, gedubraakk, banyak yang ngakak, hahahahaha...
     Sekarang, jika pihak laki – lakinya adalah orang Pariaman dan pihak perempuannya adalah orang Bugis – Makassar maka adat siapa yang akan dipakai, bagaimana kalau pakai adat secara nasional saja mungkin itu solusi yang lebih baik.  Untuk membahas masalah step by step adat pernikahan orang Bugis – Makassar dan orang Pariaman nanti kita akan bahas di postingan selanjutnya.

     Semua sumber dari hasil wawancara langsung di kantorku, siapa narasumberku mereka adalah...

Ibu Ani Marsiani (asli orang Pariaman), Bang Gestar Rheido (asli Pesisir Selatan, tapi tidak pelit berbagi informasi ), Uni Monica Ryan (mantan Cik Uniang Pariaman 2007 dan mantan Gadih Bukit Tinggi 2008).

Salam Cinta,



Postingan ini Disertakan dalam # 8 Minggu Ngeblog Bersama Anging Mammiri










11 komentar

Mugniar mengatakan...

Pingintahu, adakah laki2 Pariaman yang menikah dengan perempuan Bugis/makassar? :)

Honey mengatakan...

Hani belum tahu sama sekali tentang ini dan belum pernah ke sanaaaaa


Aty Elias mengatakan...

kak niar...waduhhh belum tahu juga tp kalo cowok bugis makassar merried sm org sumbar banyak kok, kayak p JK istrix khan org batusangkar...yg pake adat bajapuik memang cmn org Pariaman setahuku...

Aty Elias mengatakan...

ayooo kesini mba Hani, dtunggu :D

raffisty mengatakan...

bagaimana kalau kita bahas adat jawa.. siap2 menyumbang foto pernikahan plus jadi nara sumber biar nampang juga di blog kak aty.. he..he.. (lagi-lagi pengen narsis)..lama hidup di pariaman..baru setelah baca ini bener2 paham soal adat pariaman dalam hal pernikahan.. tq kak..!

Aty Elias mengatakan...

Hahaha, ambo riset selama seminggi nie ran, sbnrx ad banyak penjelasanx cmn yg inti2x aj ambo ambil, kamu mw jd narasumber untuk wanita inspiratifku tema minggu ini, biar fotox ambo pampang dsiko, ba'a uni????

Unknown mengatakan...

slm knl, oia aq jg org bugis barru n tinggal di bukittinggi n dpt istri org payakumbuh

Anonim mengatakan...

Saya org Bugis Sengkang asli bergelar Andi punya istri org Pariaman tapi kmrn kami nikah ga ada kayak gitu2 hehehehe....

Anonim mengatakan...

yang Orang Bugis Sengkang, Pariamannya dimana tu bang, deket nggak dengan Simpang Ampek Toboh, Kampung Dalam, Kec. V Koto ?

Anonim mengatakan...

Ugi to Bone

Dzikra Aulia Amri mengatakan...

Ambo urang piaman juo, di sungai sariak.... penasaran dg uang penai Hahaha....,